Aku, pencinta bulan Mei, yang menyesali kekejaman Juli.
Dengan segala kesaksian.
Kita kembali sampai pada bulan yang pernah kita harapankan berakhir tenang. Sangat tenang, sampai aku lupa pada imaji rasa yang kau lukiskan ke dalam benak sepi, perlahan diusap menghilang.
Terhapus tanpa meninggalkan kelam. Lalu, alih-alih harapan akan menuai buah manis setelah berjalan, lagi aku harus dihadapkan pada sebuah kenyataan pedih.
Juli memang jahat. Terlalu jahat. Sampai aku, sosok yang pernah berimajinasi untuk memilikimu, mati perlahan meneguk pil pahit dari kenyataan. Kau yang menciptakan semua semu ini, hingga kewarasanku hilang.
Kau membunuhku perlahan, di balik senyummu yang sekarang hanya ku lihat sebagai beling yang siap menusuk lebih dalam. Mengoyak perasaan, larut bersama kehampaan yang kini masuk ke relung luka paling dalam
Kau memutuskan untuk pergi, bersama Juli yang pula telah kehilangan hari. Tidak cukup bagi dia kembali melangkah, karena telah habis masanya untuk menyapa. Mati sudah aku terkoyak rindu, membusuk aku babak belur dihajar harapan tak bertepi.
Selamat untuk hatimu yang akan hidup di suatu kepastian, sebuah kepastian yang pernah aku sangka akan ada aku di dalamnya. Rupanya, aku hanya tempat kau mengubah air mata menjadi tawa. Bukan mengubah sebenarnya, aku hanyalah tempat kau menukar airmata sedihmu dengan tawaku.
Saat aku percaya memberimu sukacita, kau dengan serta merta hanya meninggalkan duka. Setelah itu, kau bebas pergi melangkah tanpa pernah tersirat hati untuk menoleh lukaku yang terus mengangah. Tak ku sangka sekejam itu kau dan Juli.
Terimakasih walau pedih, aku tetap berusaha sebijaksana mungkin menerima perih. Patah hatiku selalu bijaksana, menjadi visual paling baik di mana aku bisa menuntaskan luka.
Sebuah puisi aku tulis untukmu dan Juli. Ya, untukmu yang ternyata berhasil berpura-pura menyapaku dalam rasa. Dan untuk Juli, yang telah menemaniku sepanjang hari. sebuah perjalanan panjang yang menuntunku menuju patah hati paling elegan. Hingga ujung bulan sebelum rasa memilih untuk benar-benar tenggelam
Mei akan tetap terpatri, Juli akan tetap terkenang, kau akan tetap menjadi diriku di dunia fana.
Kau memutuskan untuk pergi, bersama Juli yang pula telah kehilangan hari. Tidak cukup bagi dia kembali melangkah, karena telah habis masanya untuk menyapa. Mati sudah aku terkoyak rindu, membusuk aku babak belur dihajar harapan tak bertepi.
Selamat untuk hatimu yang akan hidup di suatu kepastian, sebuah kepastian yang pernah aku sangka akan ada aku di dalamnya. Rupanya, aku hanya tempat kau mengubah air mata menjadi tawa. Bukan mengubah sebenarnya, aku hanyalah tempat kau menukar airmata sedihmu dengan tawaku.
Saat aku percaya memberimu sukacita, kau dengan serta merta hanya meninggalkan duka. Setelah itu, kau bebas pergi melangkah tanpa pernah tersirat hati untuk menoleh lukaku yang terus mengangah. Tak ku sangka sekejam itu kau dan Juli.
Terimakasih walau pedih, aku tetap berusaha sebijaksana mungkin menerima perih. Patah hatiku selalu bijaksana, menjadi visual paling baik di mana aku bisa menuntaskan luka.
Sebuah puisi aku tulis untukmu dan Juli. Ya, untukmu yang ternyata berhasil berpura-pura menyapaku dalam rasa. Dan untuk Juli, yang telah menemaniku sepanjang hari. sebuah perjalanan panjang yang menuntunku menuju patah hati paling elegan. Hingga ujung bulan sebelum rasa memilih untuk benar-benar tenggelam
Mei akan tetap terpatri, Juli akan tetap terkenang, kau akan tetap menjadi diriku di dunia fana.
FOLLOW THE Faisal Saidi AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Faisal Saidi on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram