Walau
kini semua telah mengalami perubahan, aku tetap disini. Memelihara rasa sedih,
merawat mimpi, mengabadikan kenangan.
Bukan
untuk mengorek, apalagi berfikir nakal untuk mengajakmu kembali bersua dengan
kenangan. Bukan itu tujuanku menyapamu saat ini.
Kalau
sudi, dengan penuh hormat, tuntaskan untukmu membaca tulisan ini. Di akhir. Kau
akan tau apa tujuanku sebenarnya.
-
-
-
Di pertengahan bulan Mei kemarin, malam begitu teduh. Gemerlap lampu kota membuka
ruas jalan.
Himpit-menghimpit,
desak-mendesak, suara klakson kendaraan memenjarakan malam. Aku mafhum, di kota,
sumpah serapahpun menjadi tabuh didengar.
Akupun
ikut memperlihatkan akrobat yang sama, menerbos masuk di setiap ruang kecil dan
iku membunyikan klakson motor berkali-kali. Kepentinganku hanya satu. Bagaimana
aku bisa lekas bertamu di warung kopi, menduduki kursi malas di sudut warung
kopi, dan mencairkan penat yang membeku di kepala. Itu saja.
Kurang
lebih 5 menit bertarung merebut ruang kecil di jalanan, aku tiba di warung kopi
Nusantara. Tempat semua lara tersalurkan, tempat bertaruhnya wacana para
aktivis, tempat strategis untuk para penulis memilah kata, dan tempat paling
nyaman untuk orang patah hati – termasuk aku.
Di
meja pertama dekat jendela, aku menemui para pemuda yang kira-kira berstatus
mahasiswa. Mereka sangat cermat melempar wacana. Tentang pemimpin yang tak
berpendidikan, tentang segala kebijakan pemimpin yang dianggap sembrono, dan pemimpin yang juga tak bermoral. Aku tau, mereka pasti khawatir dengan Negeri ini.
Makanya dengan cara bercerita yang meluap-luap seperti itu. mereka anggap itu
bagian dari rileksasi masal.
Di
meja kedua, aku bertemu dengan para pemuda yang mungkin mereka adalah aktivis
kemanusiaan. Dengan gagahnya, aku terkesima dengan penalaran dalam sebuah studi
kasus kemanusiaan. Sedikitnya aku ingat mereka mengutuk pemerintah yang
membatasi kebebasan berpendapat di depan public.
Menurut mereka; pemerintah saat ini sangat jelas membuat kelas di dalam satu
masyarakat. Membentuk sebuah komoditi kecil bermaksud untuk melemahkan sistem
sosial budaya. Dan itu dilakukan dengan cara halus – tanpa menghilangkan jati
diri pemerintah. Bukan hanya itu, para buruh pekerja sangat sulit mendapatkan
haknya sendiri. Dengan bermodalkan iming-iming, pemerintah sangtlah jeli
mengakali pekerja buruh. Haknya menjadi mimpi bagi para buruh, kekuasaan
sangtalah dekat dengan penguasa. Dan ternyata, aku baru tersadar. Orang yang
mengritik dianggap tak bermoral. Padahal, kritik adalah upaya untuk membangun
peradaban yang benar-benar ber-akhlak. Benar katamau Ghe; “Orang yang tak tahan
krtik boleh masuk di keranjang sampah”
Di
meja ketiga, aku terlamun sejenak. Apakah iya jatuh cinta harus mengikhlaskan
air mata? Es jeruk nampaknya kehabisan dingin. Laki-laki tinggi, berambut ikal
itu sedang menelusuri gowa kekecewan. Kelihatan
dari pembawaanya, dia sedang patah hati. Menurutku, patah hati bukan hanya diperuntugkan kepada orang yang kulit putih, berpenampilan rapih atau sejenisnya.
Buktinya laki-laki itu dengan wajah preman turut merasakan patah hati. Menangis
pula. Karena olahan rasa yang bermain di sana, maka siapapun orangnya, pasti
akan merasakan seramnya patah hati.
Aku
dan laki-laki berambut ikal itu sepertinya sama. Sama-sama patah hati. Yang
bedanya, dia suka jeruk sekalipun kehabisan dingin, aku suka kopi sekalipun
kehabisan rasa.
Dari
semua meja yang aku telusuri, sampailah aku di tempat yang ternyaman versiku.
Di kursi malas sudut kanan warung kopi. Ketika kurebahkan badanku, terasa kursi
malas mendapat tuanya kembali membagi cerita secara cuma-cuma.
Tidak
lama dari tibaku di sana, pesanan kopi pinogu telah
tersaji di meja. Aku aduk kopi sembari menghembus nafas yang tertanam. Memungut
remah penyesalan dan menjinaki kepiluan. Maka, kuseruput kopi pertamaku.
-
-
-
Kau
tahu. Selama aku menyetubuhi warung kopi Nusantara itu, baru kali itu Aku
tertegun senyap di kursi malas. Terjadinya penasaran yang cukup hebat saat itu.
Aku yakin, Kamu bakalan tidak percaya dan merasa semua hanya omong kosong.
Sekalipun begitu, Aku tetap ingin membagikan cerita ini padamu.
Di
kursi sebelah kiri yang dibatasi dengan meja kecil itu – sangat dekat
denganku. Aku menemui dirimu dalam dunia yang berbeda. Kau duduk di sana dengan
serius mengotak-atik handphone,
tertawa kecil sendiri. Dengan niat untuk menegurmu kala itu, niatku didahului
oleh laki-laki muda itu.
Mia?
Aku kira karena kau tahu aku ada di warung kopi itu, kau dengan kegilaanmu coba
mengganti namamu dengan nama Mia. Ternyata tidak. Yang aku temui di sana bukan
bernama ...?. Hanya saja aku terlanjur tenggelam, terlanjur menancapkan rasa
senang, terlanjur mendambamu dalam terang. Sosok Mia menghadirkan kembali
dirimu dalam sebuah kenangan. Kau tau bagaiman keadaanku saat itu? mengakhiri
dengan pasrah, menegaskan kembali masa lalu yang telah kututup.
Ternyata
dengan itu, Aku hanya rindu.
Kepergianmu
menjadi sakit sekaligus obat bagiku. Sakit pada rasa yang tak sempat di jamu,
obat untuk penawar dikala jatuh.
Perempuanku.
Aku rindu
Itu
saja!
FOLLOW THE Faisal Saidi AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Faisal Saidi on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram