Aku rindu. Itu saja! - Faisal Saidi

Thursday, June 7, 2018

Aku rindu. Itu saja!

Aku rindu. Itu saja!



Walau kini semua telah mengalami perubahan, aku tetap disini. Memelihara rasa sedih, merawat mimpi, mengabadikan kenangan.

Bukan untuk mengorek, apalagi berfikir nakal untuk mengajakmu kembali bersua dengan kenangan. Bukan itu tujuanku menyapamu saat ini.

Kalau sudi, dengan penuh hormat, tuntaskan untukmu membaca tulisan ini. Di akhir. Kau akan tau apa tujuanku sebenarnya.

-
-
-

Di pertengahan bulan Mei kemarin, malam begitu teduh. Gemerlap lampu kota membuka ruas jalan.
Himpit-menghimpit, desak-mendesak, suara klakson kendaraan memenjarakan malam. Aku mafhum, di kota, sumpah serapahpun menjadi tabuh didengar.

Akupun ikut memperlihatkan akrobat yang sama, menerbos masuk di setiap ruang kecil dan iku membunyikan klakson motor berkali-kali. Kepentinganku hanya satu. Bagaimana aku bisa lekas bertamu di warung kopi, menduduki kursi malas di sudut warung kopi, dan mencairkan penat yang membeku di kepala. Itu saja.

Kurang lebih 5 menit bertarung merebut ruang kecil di jalanan, aku tiba di warung kopi Nusantara. Tempat semua lara tersalurkan, tempat bertaruhnya wacana para aktivis, tempat strategis untuk para penulis memilah kata, dan tempat paling nyaman untuk orang patah hati – termasuk aku.

Di meja pertama dekat jendela, aku menemui para pemuda yang kira-kira berstatus mahasiswa. Mereka sangat cermat melempar wacana. Tentang pemimpin yang tak berpendidikan, tentang segala kebijakan pemimpin yang dianggap sembrono, dan pemimpin yang juga tak bermoral. Aku tau, mereka pasti khawatir dengan Negeri ini. Makanya dengan cara bercerita yang meluap-luap seperti itu. mereka anggap itu bagian dari rileksasi masal.

Di meja kedua, aku bertemu dengan para pemuda yang mungkin mereka adalah aktivis kemanusiaan. Dengan gagahnya, aku terkesima dengan penalaran dalam sebuah studi kasus kemanusiaan. Sedikitnya aku ingat mereka mengutuk pemerintah yang membatasi kebebasan berpendapat di depan public. Menurut mereka; pemerintah saat ini sangat jelas membuat kelas di dalam satu masyarakat. Membentuk sebuah komoditi kecil bermaksud untuk melemahkan sistem sosial budaya. Dan itu dilakukan dengan cara halus – tanpa menghilangkan jati diri pemerintah. Bukan hanya itu, para buruh pekerja sangat sulit mendapatkan haknya sendiri. Dengan bermodalkan iming-iming, pemerintah sangtlah jeli mengakali pekerja buruh. Haknya menjadi mimpi bagi para buruh, kekuasaan sangtalah dekat dengan penguasa. Dan ternyata, aku baru tersadar. Orang yang mengritik dianggap tak bermoral. Padahal, kritik adalah upaya untuk membangun peradaban yang benar-benar ber-akhlak. Benar katamau Ghe; “Orang yang tak tahan krtik boleh masuk di keranjang sampah”

Di meja ketiga, aku terlamun sejenak. Apakah iya jatuh cinta harus mengikhlaskan air mata? Es jeruk nampaknya kehabisan dingin. Laki-laki tinggi, berambut ikal itu sedang menelusuri gowa kekecewan. Kelihatan dari pembawaanya, dia sedang patah hati. Menurutku, patah hati bukan hanya diperuntugkan kepada orang yang kulit putih, berpenampilan rapih atau sejenisnya. Buktinya laki-laki itu dengan wajah preman turut merasakan patah hati. Menangis pula. Karena olahan rasa yang bermain di sana, maka siapapun orangnya, pasti akan merasakan seramnya patah hati.
Aku dan laki-laki berambut ikal itu sepertinya sama. Sama-sama patah hati. Yang bedanya, dia suka jeruk sekalipun kehabisan dingin, aku suka kopi sekalipun kehabisan rasa.

Dari semua meja yang aku telusuri, sampailah aku di tempat yang ternyaman versiku. Di kursi malas sudut kanan warung kopi. Ketika kurebahkan badanku, terasa kursi malas mendapat tuanya kembali membagi cerita secara cuma-cuma.
Tidak lama dari tibaku di sana, pesanan kopi pinogu telah tersaji di meja. Aku aduk kopi sembari menghembus nafas yang tertanam. Memungut remah penyesalan dan menjinaki kepiluan. Maka, kuseruput kopi pertamaku.

-
-
-

Kau tahu. Selama aku menyetubuhi warung kopi Nusantara itu, baru kali itu Aku tertegun senyap di kursi malas. Terjadinya penasaran yang cukup hebat saat itu. Aku yakin, Kamu bakalan tidak percaya dan merasa semua hanya omong kosong. Sekalipun begitu, Aku tetap ingin membagikan cerita ini padamu.


Di kursi sebelah kiri yang dibatasi dengan meja kecil itu – sangat dekat denganku. Aku menemui dirimu dalam dunia yang berbeda. Kau duduk di sana dengan serius mengotak-atik handphone, tertawa kecil sendiri. Dengan niat untuk menegurmu kala itu, niatku didahului oleh laki-laki muda itu.

Mia? Aku kira karena kau tahu aku ada di warung kopi itu, kau dengan kegilaanmu coba mengganti namamu dengan nama Mia. Ternyata tidak. Yang aku temui di sana bukan bernama ...?. Hanya saja aku terlanjur tenggelam, terlanjur menancapkan rasa senang, terlanjur mendambamu dalam terang. Sosok Mia menghadirkan kembali dirimu dalam sebuah kenangan. Kau tau bagaiman keadaanku saat itu? mengakhiri dengan pasrah, menegaskan kembali masa lalu yang telah kututup.

Ternyata dengan itu, Aku hanya rindu.
Kepergianmu menjadi sakit sekaligus obat bagiku. Sakit pada rasa yang tak sempat di jamu, obat untuk penawar dikala jatuh.

Perempuanku. Aku rindu
Itu saja!

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2019 Faisal Saidi | All Right Reserved